GREEN
economics adalah keniscayaan dalam proses
pembangunan berorientasi kesejahteraan kini dan mendatang. Sistem ekonomi dunia
nyata berdimensi kerja, human needs, material bumi, dan bagaimana
mewujudkan kerja kolektif menciptakan harmoni.
Dalam berbagai pemikiran yang berkembang, manifestasi green economics
berpulang pada bagaimana mewujudkan nilai-nilai hidup harmoni. Khasnya dalam
konteks hubungan manusia - alam - Tuhan secara multi dimensional. Di dalamnya
peradaban manusia tumbuh dan berkembang. Arahnya jelas, yaitu pembangunan
kualitas hidup manusia (di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi), karena
terkait dengan keberlanjutan berbasis regenerasi secara personal,
kemasyarakatan, dan ekosistem. Memadu-padan pembangunan sumber daya alam dan
sumber daya manusia dalam satu tarikan nafas.
Menegaskan green economics sebagai ideologi pembangunan, selaras dengan
era peradaban manusia yang memasuki masa postindustrial. Daniel Bell
sejak lama mengingatkan, pada masa ini, manusia mesti kembali kepada pijakan
jati dirinya. Nilai-nilai asasi yang bersumber dari peradabannya sendiri. Era,
ketika teknologi berkembang dan menawarkan berbagai konvergensi, dan
menempatkan kualitas ekonomi bertumpu kesejahteraan manusia. Karenanya, green
economics terfokus pada pertemuan harmoni dan sinergis kepentingan
kemanusiaan dan lingkungan (fisik dan sosial). Kearifan dalam menegaskan
hakekat pembangunan berbasis sumber daya alam dan sumber daya manusia secara
integral. Terutama, karena proses pembangunan dengan eksploitasi dan eksplorasi
sumber daya alam yang berlangsung selama dua abad terakhir, telah menurunkan
kualitas sumber daya alam dan orientasi materialis manusia.
Efek yang ditimbulkannya antara lain: lost generation (kawung mabur
carulukna), lenyapnya ukuran nilai hidup (gula leungiteun ganduan),
kerusakan lingkungan (ciamis karih paitna, ciherang karih kiruhna),
manipulasi dan kepalsuan (samak tingaleun pandanna), degradasi peran
pencerah (kyai leungiteun aji), degradasi wibawa intelektual dan
pemerintah (pandita ilang komara), karena terbakar oleh ambisi dan nafsu
politik (kahuruan ku napsuna). Oleh karena itulah green economics
dan green politics yang dikelola secara harmonis, akan merupakan
kreativitas dalam menentukan alternatif positif di seluruh wilayah kehidupan
dan seluruh sektor ekonomi. Apalagi, green economics merupakan kebijakan
pembangunan ekonomi yang menjadikan kesejahteraan dan keberlangsungan hidup
manusia sebagai prioritas. Sekaligus memadukan sektor publik dan sektor private
secara integral.
Dalam
konteks Indonesia, green economics dan green politics mesti
berpijak pada konsolidasi demokrasi secara paripurna. Tidak lagi parsial.
Kuncinya adalah kesadaran kolektif untuk bermufakat dan saling menyukseskan
satu dengan lain. Bukan saling meruntuhkan. Dalam kearifan lokal bangsa ini,
hal tersebut secara eksplisit dinyatakan dalam Meunyo ka mupakat, lampoih
jeurat to peugala (Aceh), Wasimbataka babwerbrau bata baumda, arema
babwatfo (Papua), Purpar pande dorpi jumadihon to rapotna (Batak).
Pada musyawarah yang melahirkan mufakat, itulah akan diperoleh kondisi saling
menguatkan antar seluruh potensi bangsa: Pada idi' pada ilo' sipatua
sipatokong (Bugis), Fa'amate wozu li, fa'atua daromag, tasawo zinata
mbawa namada, tebai tasawo zinata mbawada (Nias).
Musyawarah dan mufakat melahirkan kehendak kolektif untuk menciptakan kondisi
terbaik bagi keseluruhan upaya damai menyejahterakan rakyat. Sekaligus,
menegaskan konsolidasi demokrasi sebagai cara mewujudkan stabilitas sosial
untuk menyejahterakan rakyat, secara integratif. Erne ro'eng kaeng one
ngonggeng, porom pucum neka kutut, naim neka tadu, ungkap masyarakat
Manggarai - Nusa Tenggara Timur.
Green economics dan green politics adalah dua sisi yang mesti
bersinergi satu dengan lainnya, yang dalam falsafah Buton, disebut poangka-angkataka.
Artinya, sebagai ideologi: green economics dan green politics,
sudah pas dengan kultur peradaban Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar