Tanaman Obat di Indonesia sudah
cukup dikenal cukup lama yaitu sejak masa prasejarah sampai masa sejarah yang
ditandai prasasti batu bertulis kerajaan Kutai Kertanegara pada abad ke 5,
Kejayaan Sriwijaya, kejayaan Majapahit sampai dengan masa kesultanan Mataram
dan dilanjutkan dnegan masa penjajahan oleh VOC. Penggunaan Tanaman Obat
dizaman dulu oleh Nenek Moyang kita telah membawa kesejahteraan dan kejayaan
selama berabad-abad yang ditandai dengan peninggalan sejarah seperti Borobudur,
Prambanan, keraton-keraton dan sistem transportasi diselurh jawa dan
pulau-pulau lain.
Namun pada abad ke 20 mulai Perubahan terjadi baru ketika
itu berdiri Sekolah Dokter Jawa yang bernama STOVIA tahun 1904 di Batavia oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Sejak itulah putra bangsa ini mulai belajar tentang
obat-obatan modern, yaitu obat-obatan barat yang dibuat dengan pendekatan
kimiawi. Adopsi pengobatan modern
kedalam sistem pengobatan masyarakat terjadi bukan karena permintaan masyarakat
pribumi tetapi karena kebutuhan penduduk Belanda yang membutuhkan tenaga
dokter. Padahal pada saat itu masyarakat pribumi telah memiliki sistem pengobatan
sendiri yang dengan memanfaatkan tanaman obat, sama halnya dengan
masyarakat Tiong Hoa setempat yang juga sudah memiliki metode penyembuhan sendiri.
Pada saat itu putra pribumi yang terdidik
sangat tertarik sekali dengan sesuatu yang bersifat modern, maka segala sesuatu
yang modern cenderung diadopsi dan hal-hal yang bersifat tradisional cenderung
ditinggalkan. Cara berpakaian mulai berubah
dari “surjan” cendrung kekemeja, setelan Jas, Tulisannya berubah dari
hanacaraka menjadi huruf lain, tetapi lebih dari itu “bothekan, pipisan dan
lumpang” pun sudah mulai ditinggalkan
dan beralih keobat-obatan modern. Semua resep-resep nenek moyang bangsa yang
berasal dari tanaman obat dibuang dan diganti dengan nasehat dokter yang
berkualitas medis tekhnis. Meskipun kita bersyukur nasi rawon, gudeg, pecel
rendang, bajigur, wedang ronde tidak diganti sepenuhnya dengan hot-dog, pizza,
dan coca-cola serta joghurt.
Adopsi dibidang obat modern sungguh tidak
terbatas sehingga “bothekan” telah terbuang entah kemana. Motto Modern yang
berkembang saat itu adalah : “Orang yang sudah makan sekolahan tidak pantas
lagi untuk minum jamu”. Obat herbal yang berasal dari tanaman obat dianggap
kuno, ketinggalan Jaman, berbahaya, tidak higienis. Akibatnya obat herbal
ditinggalkan sedemikian jauh sampai hampir-hampir tidak dikenal lagi ! Terbukti
banyak ibu-ibu sekarang sudah tidak kenal lagi dengan Sambiloto, Tempuyung,
Pegagan, dll.
Namun Perhatian Besar sudah mulai berkembang
pada dekade terakhir abad ke 20 yaitu semangat “back to nature” dari dunia
barat merasuki pola fikir negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pada
perkembangan ini masyarakat mulai sadar bahwa obat modern yang pada umumnya
obat kimia itu memiliki kelemahan-kelemahan yang signifikan sementara pada sisi
lain terdapat kelebihan-kelebihan obat herbal yang di ramu secara tradisional
oleh berbebagai jenis tanaman obat.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus