Jumat, 20 April 2012

Model Pembelajaran Lingkungan 1

Meyakini bahwa pendidikan lingkungan (secara formal) merupakan obat mujarab untuk mengendalikan berbagai kerusakan lingkungan, masih memerlukan diskusi yang agak panjang. Berbagai fakta menjadi bukti, penggundulan hutan 2 juta - 2,5 juta hektare per tahun tidak semata-mata akibat ulah perambah hutan, tetapi sebagian besar justru akibat perilaku para pengusaha HPH yang tidak bertanggung jawab. Kita tahu pasti, tingkat pendidikan para pengusaha relatif tinggi.


Hal yang sama terjadi di birokrasi. Pada era otonomi daerah ini, setiap pemerintah berupaya mencari berbagai terobosan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD)-nya. Eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan untuk menggenjot penerimaan PAD perlu dipikirkan ulang. Pola pikir sesaat, seperti kesediaan sebuah kabupaten di Kalimantan sebagai tempat pembuangan limbah gunung berapi dari Pemerintah Jepang dengan kompensasi dana Rp 300 miliar - Rp 400 miliar, perlu ditinggalkan.
Untuk memulihkan lingkungan yang rusak diperlukan biaya yang sangat besar. Sebagai gambaran, untuk mengatasi banjir pasang yang diakibatkan amblesnya tanah dan masih bersifat lokal (Semarang) diperlukan biaya sekitar Rp 10 miliar; tidak sebanding dengan besar pajak yang disumbangkan kegiatan-kegiatan fisik (industri, perumahan, dan lain-lain).
Di sisi lain, masyarakat tradisional yang tak bersentuhan dengan pendidikan lingkungan secara formal telah memiliki kearifan lingkungan secara turun-temurun. Kearifan lingkungan yang dikemas dalam bentuk tradisi dapat ditemukan pada tradisi taruban yang berkembang pada masyarakat Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat. Masyarakat dilarang menebang pohon di Hutan Biuk. Jika terpaksa menebang, ia harus menempatkan kaki kirinya di Hutan Biuk, sedangkan kaki kanannya di sungai; sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Petani Jawa mengenal nyabuk gunung untuk mengendalikan erosi; hal yang sama dilakukan oleh petani Sunda dengan istilah ngais gunung.
Tradisi kajang di Sulawesi Selatan memuat prasyarat kewibawaan seorang pemimpin dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kepada para pejabat diajarkan: jika tanaman menjadi, ikan bersibak, air tuwak menetes dan kayu bersemi, air mengalir terus maka engkaulah akan menjadi karaeng terus-menerus.
Pada masyarakat Bali, di samping dikenal subaknya, setiap pekarangan rumah Bali dipisahkan menjadi tiga mintakat, yaitu parahyangan, pawongan, dan palemahan. Pada mintakat parahyangan ditanam semua tanaman yang berbunga atau tanaman untuk sesaji atau yadnya; dan dibangun sebuah pura sebagai lambang hubungan antara manusia dan penciptanya.
Pada mintakat pawongan ditanam berbagai jenis buah-buahan yang diperuntukkan bagi tamu dan tetangga sekitar, sedangkan mintakat palemahan digunakan untuk menempatkan kandang ternak, kolam ikan, maupun tanaman besar.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar